Warga Palestina berlari menuju truk bantuan, menyusul gencatan senjata antara Israel dan Hamas, di Rafah di Jalur Gaza selatan, 20 Januari 2025. (Hatem Khaled/REUTERS)
Suaraborneo.id - Tim transisi Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump sedang menjajaki gagasan untuk memindahkan sementara sebagian penduduk Palestina di Jalur Gaza ke Indonesia, saat upaya rekonstruksi di Gaza dimulai.
Seperti dikutip NBC News, seorang pejabat transisi pemerintahan Trump yang mengetahui langsung proses gencatan senjata, Indonesia akan menjadi salah satu negara yang berpotensi menerima relokasi sementara warga Palestina di Gaza ketika dimulainya pembangunan kembali wilayah itu pasca perang Israel-Hamas 15 bulan terakhir. Pembangunan kembali ini dimungkinkan seiring tercapainya kesepakatan gencatan senjata di Doha, Qatar, Jumat lalu (17/1).
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Rolliansyah Soemirat mengatakan “pemerintah RI tidak pernah mendapatkan informasi apapun mengenai hal ini.” Israel dan Hamas juga belum memberikan pernyataan apapun mengenai usul relokasi tersebut.
Pengamat Timur Tengah di Universitas Indonesia Yon Machmudi PhD. di Jakarta, Senin (20/1), menilai memindahkan sementara dua juta warga Palestina di Gaza selama proses rekonstruksi merupakan usulan yang aneh.
"Saya kira bukan hal yang mudah. Apalagi kemudian di proyeksikan berada di Indonesia, itu kan tempat yang jauh dan tentu pasti akan memberlukan waktu. Apakah kemudian relokasi itu sementara atau permanen? Kalau dengan alasan untuk membangun kembali (Gaza) kemudian mereka direlokasi, saya kira juga tidak masuk akal," ujarnya.
Ditambahkannya, usul semacam itu pernah disampaikan Israel saat Perang Gaza masih berkecamuk. Ketika itu Israel ingin memindahkan warga Palestina di Gaza ke Mesir agar tidak menjadi korban dalam pertempuran Israel-Hamas yang semakin memanas. Mesir langsung menolak usul itu. Oleh karena itu selama belum ada konsep yang jelas tentang relokasi sementara ini, maka pemerintah Indonesia harus dengan tegas menolak hal itu, sebagaimana yang dilakukan oleh Mesir.
Lebih jauh Yon menilai gagasan relokasi warga Gaza merupakan pengusiran secara halus rakyat Palestina dari kampung halaman mereka. Padahal selama perang terjadi, warga Gaza juga sudah berulangkali mengungsi ke berbagai tempat pengungsian di kawasan konflik itu, meski tidak pernah benar-benar bisa berada di lokasi pengungsian yang sepenuhnya aman. Menurutnya, bukan suatu hal yang berlebihan jika muncul pandangan bahwa pemindahan dua juta warga Palestina di Gaza ini merupakan salah satu strategi Israel untuk menguasai sepenuhnya Gaza.
Supaya warga Palestina di Gaza tidak perlu dipindahkan ke negara mana pun, Yon menilai proses rekonstruksi bisa dilakukan secara bertahap. “Jika rekonstruksi dilakukan di Utara Gaza, maka pengungsian dipusatkan di wilayah tengah dan selatan Gaza,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan ide relokasi warga Palestina keluar dari gaza merupakan rencana jahat.
"Atas nama relokasi, atas nama kasihan kepada orang Gaza, tapi sebetulnya ini adalah bentuk nyata pengusiran dua juta orang-orang Gaza ke Indonesia, bahkan juga Malaysia dan kalau tidak salah juga ke Maladewa," ujarnya.
Jika tim transisi mengusulkan relokasi itu berarti Amerika memberikan kesempatan kepada Israel untuk kembali melakukan genosida dan sekaligus menguasai Gaza. “Relokasi warga Palestina keluar dari Gaza jelas menghilangkan kedaulatan wilayah bangsa Palestina,” tegasnya.
Sudarnoto menilai Indonesia menjadi salah satu negara tujuan relokasi warga Palestina Gaza karena kedekatan khusus Indonesia dan komitmen kuat untuk selalu memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Meskipun tidak pernah meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, Indonesia selama ini tetap memberi perlindungan pada pengungsi yang tiba di wilayah Indonesia, untuk kemudian bekerjasama dengan UNHCR untuk mengarahkan mereka ke negara ketiga.
Sudarnoto mengatakan gencatan senjata merupakan kemenangan Hamas secara politik, dan kekalahan Israel secara ekonomi karena memburuknya kondisi ekonomi di negara berpenduduk 9,7 juta jiwa itu akibat perang yang berlangsung lama. Pertentangan politik diantara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dengan elit politik lainnya menjadi pertimbangan lain, tambahnya.
Sudarnoto menyerukan semua pihak, termasuk Indonesia, untuk mengawasi dengan seksama pelaksanaan kesepakatan gencatan senjata dan sekaligus mengintensifkan upaya diplomasi dengan Amerika untuk meyakinkan pemerintahan Trump agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan di masa pemerintahan pertamanya. [fw/em/as/hj]
Sumber : Voa Indonesia