SINGAPURA, Suaraborneo.id — Pemerintah tengah menjajaki potensi menjalin kerja sama dengan Amerika Serikat dan Rusia terkait teknologi pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) domestik, ujar Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Vivi Yulaswati, pada Jumat (29/11).PLTN Tomari milik Hokkaido Electric Power Co. terlihat di Kota Tomari di Pulau Hokkaido utara Jepang, dalam gambar ini diambil oleh Kyodo pada 16 April 2008. (Foto: Ilustrasi/Kyodo via REUTERS)
Pemerintah menargetkan untuk dapat mengoperasikan PLTN paling cepat pada 2036 sebagai upaya untuk memangkas ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, ujar Vivi.
Indonesia terbuka untuk penggunaan reaktor modular kecil dan teknologi nuklir konvensional, katanya dalam sebuah wawancara video.
PLTN sering menjadi topik kontroversial karena Indonesia terletak di wilayah Cincin Api, yang rentan terhadap gempa bumi. Ketika ditanya apakah pengadaan PLTN sudah dilakukan, Vivi menyatakan bahwa hal itu masih terlalu dini.
"Kita harus mendapatkan restu dari presiden, dan tentu saja, kita harus berbicara dengan mitra internasional. Saya pikir, perjalanan masih sangat panjang," katanya.
Tiga puluh negara, sembilan di antaranya berada di Asia, menggunakan tenaga nuklir untuk pembangkit listrik, menurut data dari lembaga kajian energi, Ember.
Indonesia, dengan lebih dari 275 juta penduduk, menjadi negara di Asia Tenggara yang mengonsumsi batu bara terbanyak untuk pembangkit listrik. Saat ini, lebih dari separuh kapasitas pembangkit listrik di Tanah Air masih mengandalkan batu bara, sementara sumber energi bersih, seperti tenaga air, hanya menyumbang sekitar 15 persen.
Pemerintah tengah membidik investor untuk membangun pembangkit tenaga energi terbarukan berkapasitas 75 gigawatt (GW) pada 15 tahun ke depan.
Namun, pendanaan tetap menjadi kendala. Indonesia dijanjikan $20 miliar melalui Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) G7 yang diluncurkan pada 2022, tetapi hingga saat ini sangat sedikit dana yang dicairkan, dan kemajuan yang lambat itu menghambat upaya pemerintah untuk mengurangi emisi.
Vivi mengatakan JETP sejauh ini telah menyetujui hibah untuk 33 proyek dekarbonisasi di Indonesia senilai $217,8 juta, termasuk satu yang akan meningkatkan jumlah kendaraan listrik di Bali. Enam proyek lainnya senilai $78,4 juta saat ini sedang dibahas, katanya.
Pinjaman hingga $6,1 miliar telah disetujui, terutama untuk meningkatkan jaringan listrik nasional dan mengembangkan sektor energi terbarukan, imbuhnya.
Vivi mengatakan bahwa suku bunga pinjaman tersebut belum ditetapkan. Isu suku bunga ini menuai perdebatan, dan pemerintah menyalahkan negara-negara Barat yang belum menyediakan pendanaan lunak sesuai dengan ketentuan JETP.
Vivi mengatakan bahwa proyek-proyek JETP belum dilaksanakan. Ia menegaskan bahwa pendanaan akan dimulai tahun depan, berbarengan dengan dimulainya perencanaan pemerintah lima tahun ke depan. [ah/ft]
Sumber : Voa Indonesia