(Suaraborneo.id) — Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, pemerintah menghentikan sementara penyaluran bantuan sosial atau bansos hingga pelaksanaan Pilkada Serentak selesai. Penghentian penyaluran bansos sementara ini dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, terkecuali di daerah bencana.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menjelaskan penghentian bansos sementara tersebut muncul akibat banyak laporan yang menyebutkan bahwa para kontestan Pemilu khawatir dan curiga tentang kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.
Meski begitu, dia mengatakan, program kementerian yang memang tahapan penyalurannya membutuhkan kesegeraan bisa terus berlanjut namun harus dilaporkan. Ia mencontohkan, dana insentif fiskal yang merupakan program Kementerian Keuangan untuk menurunkan kasus stunting.
“Setelah kami lakukan pembahasan difokuskan pada yang bersumber dari APBD karena itu yang rawan disalahgunakan. Bagi yang sumbernya Kementerian, apalagi yang langsung dibutuhkan warga terkait dengan stunting, ya silahkan karena sudah diinformasikan dan sudah ada tahapan-tahapan penyalurannya,” kata Bima Arya.
Peneliti ahli muda di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yanu Endar Prasetyo mengatakan ketika masa Pemilu tiba, bansos rentan dijadikan alat politisasi atau personalisasi. Pasalnya, kata Yanu. dalam penyaluranya bisa dimasukan pesan-pesan, foto atau gambar dari salah satu kandidat yang maju ke pemilihan daerah, khususnya petahana atau pihak yang didukung oleh petahana.
Menurutnya jika pemerintah tidak menghentikan sementara, penyaluran bansos berpotensi akan menguntungkan petahana atau inkumben karena mereka yang memiliki akses untuk menyalurkannya. Untuk itu dia mengapresiasi upaya pemerintah yang memberikan kepastiaan hukum dengan melarang pembagian bansos menjelang pemilu.
“Atau tidak langsung petahana kalau dia tidak mencalonkan diri tapi misalnya ada kandidat berafiliasi dengan petahana, kan bisa dibantu. Karena baik dia, petahana langsung atau siapapun yang didukung oleh pemerintah yang sedang memimpin atau berkuasa, ya itu yang akan diuntungkan karena aksesnya kan di sana. Menentukan dimana titik diberikan kepada siapa, jumlahnya berapa, itu kan kewenangan pemerintah daerah dan itu yang dikhawatirkan jika tidak dihentikan,” ungkap Yanu kepada VOA.
Yanu mencontohkan kasus Gubernur Kalimantan Tengah yang dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menggunakan anggaran bansos sekitar Rp547 milliar untuk kepentingan politik.
“Jadi kadang perintah daerah punya program-program, baik bantuan tunai langsung maupun beasiwa misalnya. Dan itu diberikan dari anggaran APBD sehingga itu berpotensi digunakan, kalau tidak dihentikan bansos bisa ditunggangi, dipolitisasi. Lalu selain itu ada bantuan kepada lembaga-lembaga, ormas-ormas, hibah dan lain sebagainya itu kan juga bagian dari bantuan sosial,” ujarnya.
Selanjutnya, Yanu mengatakan bahwa kemiskinan struktural merupakan akar permasalahan.
“Akar masalahnya bukan di pemilunya. Akar masalahnya kemiskinan struktural, kemiskinan yang cukup luas atau masih cukup parah karena kalau misalnya di negara demokrasi yang relatif sejahtera misalnya, hal itu tidak terjadi. Bahkan Pemilu sebuah fenomena atau seremonial yang biasa saja. Tidak seperti Indonesia, India atau negara-negara Amerika latin luar biasa heboh itu karena begitu banyak penduduknya, kemiskinan tinggi, pendidikan juga relatif masih rendah sehingga memang kualitas demokrasi akan membaik ketika masalah strukturnya semakin membaik,” tambahnya. [fw/ab]
Sumber : Voa Indonesia