-->


EUDR Ditunda: Tantangan Baru Bagi Indonesia Atasi Deforestasi

Editor: yati
Sebarkan:

ILUSTRASI - Kawasan Industri Indonesia Weda Bay di Kulo Jaya, Halmahera Tengah, Maluku Utara, Indonesia, 7 Juni 2024. (Achmad Ibrahim/AP)
JAKARTA, Suaraborneo.id — Regulasi Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang sedianya diberlakukan pada 30 Desember 2024 ditangguhkan menjadi 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar, dan 30 Juni 2025 untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Keputusan ini diambil Komisi Uni Eropa pada 2 Oktober lalu, dan diperkuat dengan voting atau pemungutan suara di Parlemen Eropa pada 14 November lalu.


Alasan penangguhan itu semata-mata karena kekhawatiran yang diajukan negara-negara anggota Uni Eropa dan non-Uni Eropa, serta sejumlah pelaku yang mengisyaratkan kesulitan yang akan mereka hadapi jika mematuhi aturan sesuai tenggat semula, dan memohon waktu untuk menetapkan standar baru dan transisi saat beradaptasi dengan aturan yang baru.

Dalam sebuah diskusi di Jakarta baru-baru ini, Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien mengecam penangguhan pelaksanaan EUDR. Tiga hal yang mendasari kritiknya, yaitu pertama, EUDR dinilai berpotensi mencegah deforestasi hutan terutama yang terbebani dengan izin konsesi, mempercepat kesiapan petani kecil untuk beradaptasi dengan tuntutan yang ada dalam EUDR, dan sekaligus mendorong perbaikan tata kelola perkebunan dan kehutanan Indonesia.

“Ini konteksnya mengapa kita perlu EUDR. Kita tidak memiliki peraturan atau Undang-Undang khusus yang melarang deforestasi. Kita juga memperbolehkan penggundulan hutan secara legal yang jelas kontradiktif dengan target FOLU (Forest and Other Land Uses) di 2023. Kita juga punya kuota untuk deforestasi,” ujar Andi.

Ia mencontohkan masifnya penggundulan hutan di beberapa wilayah Indonesia, baik untuk dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit dan tebu, maupun untuk pengembangan lumbung pangan (food estate).

“Lebih dari dua dekade area kebun kelapa sawit tumbuh pesat, namun di saat yang bersamaan produktivitasnya berfluktuasi. Di tahun 2022 misalnya kebun kelapa sawit nasional tumbuh 145 persen, sementara produktivitasnya hanya tumbuh 1,3 kali saja,” jelasnya.

Berdasarkan data yang diperolehnya, saat ini ada 2,6 juta hektare lahan hutan yang di dalamnya terdapat izin konsesi kebun kelapa sawit.

EUDR, tambah Andi, yang dapat menekan atau memaksa pemerintah Indonesia melihat pentingnya melindungi hutan dan menyelesaikan berbagai konflik sosial terkait lahan dengan masyarakat adat dan lokal, serta sekaligus melibatkan petani kecil dalam rantai pasok.

Kementan Akui Penangguhan EUDR Jadi Tantangan Baru

Asisten Deputi Direktur Pemasaran Internasional Produk Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) M. Fauzan Ridha mengakui penangguhan EUDR akan menjadi tantangan baru bagi industri sawit di tanah air, terutama petani kecil.

Itulah sebabnya pemerintah akan memaksimalkan penerapan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) sebagai salah satu modal petani saat menjual hasil panen dan mengembangkan usaha. Sedikitnya ada 7,9 juta petani yang diharapkan dapat terdaftar di STDB.

“Saya kira kita punya pilihan lain dengan memperkuat tata kelola data dengan sistem dashboard komoditas nasional. Lalu mempercepat pendaftaran petani kecil dengan program penerbitan STDB dan migrasinya ke STDB elektronik. Jadi tentu saja aspek geo lokasi ini akan mematuhi EUDR. Jadi ke depan kita akan memperkuat dan mempercepat sertifikasi ISPO bagi petani kecil dan mendorong daya saing internasional,” ungkap Fauzan.

Untuk mendukung pelaksanaan STDB, pemerintah telah mengeluarkan beberapa regulasi, antara lain Surat Keputusan Dirjen Perkebunan Nomor 37 Tahun 2024

Menurutnya, sampai saat ini setidaknya 63.418 kebun STDB telah diterbitkan dengan luasan cakupan wilayah 499.695 hektare. Dengan target yang masih jauh tersebut, pihaknya akan terus berupaya mempercepat proses penerbitan STDB.

WALHI Sayangkan Sikap EU karena Indonesia Butuh Regulasi Kuat

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia Uli Arta Siagian juga menyesalkan penundaan implementasi EUDR oleh Parlemen Uni Eropa, karena menurutnya regulasi kuat semacam itu diperlukan untuk membebaskan Indonesia dari deforestasi.

“EUDR ini bisa menjadi peluang untuk memperbaiki tata kelola di negara-negara produsen, salah satunya Indonesia. Dan ketika kemudian diimplementasikan, kita juga bisa menguji UU ini, cukup kuat atau tidak? Atau dia implementasinya berjalan atau tidak? Kalau ditunda maka kita tidak bisa men-challange aturan ini , gimana kita bisa men-challange dan menjadikan EUDR sebagai alat untuk advokasi perbaikan tata kelola sawit dan komoditas lainnya di Indonesia kalau dia belum implementatif dan ditunda?,” ungkap Uli ketika berbincang dengan VOA.

Uli juga khawatir korporasi dan pemerintah Indonesia semakin tidak melindungi hutan alam dengan penangguhan aturan ini. “Karena bisnis itu kalau tidak ada konsekuensi pada saat itu juga, atau saat mereka melakukan pelanggaran maka mereka akan tetap melakukan pelanggaran,” ujarnya.

Kekhawatiran yang sama juga disampaikan Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien, yang menilai penangguhan EUDR membuat tidak ada faktor eksternal yang memaksa bisnis di Indonesia memperbaiki diri.

Hingga saat ini diketahui ada 17,1 juta hectare hutan alam yang sudah terbebani izin dan berpotensi terdeforestasi. Termasuk di dalamnya 2,6 juta hektare izin sawit. [gi/em]

Sumber : Voa Indonesia 
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini