Suaraborneo.id - Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga sudah diberlakukan sejak 20 tahun lalu. Tetapi perkembangan situasi, termasuk munculnya kasus-kasus baru seperti femisida, mendorong kajian ulang atas undang-undang itu.
Nia Kurnia Sari, gadis penjaja gorengan di Padang Pariaman, dilaporkan hilang oleh keluarganya pada 6 September. Tidak seorang pun menyangka jika perempuan berusia 18 tahun yang rajin berjualan supaya dapat membantu ekonomi keluarganya ini, ternyata diperkosa dan dibunuh pemuda yang kerap membeli gorengannya. Mayatnya baru ditemukan dua hari kemudian setelah dilakukan pencarian besar-besaran yang melibatkan polisi dan BPBD.
Tersangka pelaku yang kini sudah ditangkap polisi belum mengungkapkan motif tindakannya, tetapi lepas dari soal pemerkosaan dan pembunuhan itu, berdasarkan hasil Sidang Umum Dewan HAM PBB tahun 2017, aksi kekerasan terhadap Nia telah dikategorikan sebagai femisida.
Definisi Femisida
Komnas Perempuan mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya, yang didorong superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik. Femisida merupakan kejahatan serius yang menunjukkan tingkat diskriminasi dan kebencian yang tinggi terhadap perempuan.
Ironisnya belum ada aturan hukum atau kebijakan perundangan lain yang secara terang benderang menyebut soal femisida. Komnas Perempuan, dalam siaran pers hari Rabu (25/9), mengakui meski sudah diberlakukan sejak 20 tahun lalu, UU Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga belum menyediakan aturan pencegahan dan perlindungan optimal untuk menjamin keberadaan rumah tangga sebagai ruang aman. Komnas Perempuan juga menyadari bahwa diksi femisida belum terintegrasi dalam kebijakan/perundangan nasional, padahal kasus-kasus yang muncul semakin kompleks dan belum dikenali publik secara luas.
Padahal sebagaimana Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung dengan pembunuhan, atau disebut sebagai “femisida relasi intim” menempati urutan tertinggi kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Oleh karena itu menurutnya penting mengoptimalkan UU PKDRT, baik aspek pencegahannya, maupun penguatan perlindungan – termasuk membangun kebijakan danger assesment dalam KDRT – dan penanganan korban KDRT agar tidak berakhir dengan kematian.
”Jadi ketika misalnya istri dipukul, kemudian roda kekerasan berjalan terus, dan hal ketika itu tidak dihentikan maka bisa jadi itu berakibat kekerasan memburuk dan berakhir kematian. Dalam konteks ini berarti perempuan yang meninggal atau terbunuh atau teraniaya oleh suaminya, dan itu dikatagorikan sebagai femisida intim,” ujar Aminah kepada VOA.
Akibat semua faktor itu, pemenuhan keadilan pada perempuan yang menjadi korban, termasuk pemenuhan hak pada keluarga korban yang menyaksikan langsung, atau merasakan dampak femisida, seringkali tidak maksimal.
Pemantauan atas pemberitaan media massa tahun 2023 diketahui ada 162 jenis femisida, di mana femisida relasi intim, atau pembunuhan perempuan yang dilakukan oleh suami, pacar, mantan suami dan mantan pacar, atau pasangan kohabitasi menduduki jumlah kasus terbanyak, yaitu 109 kasus atau 67 persen dari total kasus yang dilaporkan.
Honour Killing, Pembunuhan Perempuan Demi Menjaga Martabat Keluarga
Komnas Perempuan juga mencatat kasus-kasus femisida atas nama kehormatan (honour killing), yaitu pembunuhan perempuan yang dilakukan demi menjaga kehormatan atau martabat keluarga dan/atau komunitas karena dianggap melakukan pelanggaran norma keluarga/komunitas. Femisida yang dinormalisasi ini terjadi karena kasus perzinahan, hamil di luar nikah, atau pemerkosaan oleh anggota keluarga.
Pembunuhan Rosmini binti Darwis, perempuan berusia 16 tahun, oleh ayah dan saudara laki-lakinya, pada 9 Mei 2020 karena ia mengaku telah menjalin hubungan asmara dengan seorang laki-laki yang telah berkeluarga dan dinilai mempermalukan keluarga besar mereka, adalah contoh paling nyata.
Pembunuhan Rosmini di rumahnya di kampung Katabung, desa Pattaneteang, kecamatan Tompobulu, kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan itu bahkan dilakukan di depan ibu dan saudara-saudara lainnya.
Contoh terbaru femisida lainnya adalah tindakan seorang ayah yang tinggal di Kelurahan Kota Baru, Ternate, Maluku Utara, pada 13 September 2024 lalu, yang menggunduli kepala dan membakar anak perempuannya hidup-hidup hanya karena ia bermain di luar rumah tanpa izin. Korban yang berusia 13 tahun itu hingga kini masih dirawat di rumah sakit karena luka bakar dan trauma psikologis.
Sudah saatnya semua pihak mengenali potensi femisida dan memberi bantuan sesegera mungkin. Dalam hal ini UU PKDRT, yang mengamanatkan mekanisme perintah perlindungan – baik perlindungan sementara, maupun perintah perlindungan dari pengadilan – dapat digunakan, kata Aminah.
“KDRT itu bukan lagi aib, bukan lagi ranah privat, itu tindak pidana sehingga publik atau masyarakat harus menentangnya. Rukun tetangga jika mengetahui, melihat ada KDRT, dia harus berperan serta, harus mencegah agar kekerasan itu tidak memburuk. Caranya dengan apa? Caranya misalnya dihubungkan dengan lembaga layanan,” tambah Aminah.
Rekomendasi Komnas Perempuan
Komnas Perempuan telah merekomendasikan agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan lembaga layanan korban mengembangkan sistem penilaian potensi femisida (danger assesment) dan penguatan support system terdekat.
Rekomendasi juga disampaikan kepada Kepolisian dan Mahkamah Agung, agar segera menyusun kebijakan dan aturan pelaksanaan teknis perlindungan sementara, serta perintah perlindungan yang dapat digunakan secara cepat dan terukur sebagai bagian dari optimalisasi pelaksanaan UU PKDRT.
Koalisi Perempuan Indonesia: UU PKDRT Perlu Dievaluasi Lagi
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka mengakui sejak disahkan, UU PKDRT belum dievaluasi kembali secara komprehensif untuk mengkaji efektifitas aturan-aturan yang ada dengan situasi terkini.
“Terutama kalau melihat apakah UU PKDRT itu efektif untuk menyelesaikan kasus-kasus KDRT ketika kasus KDRT semakin berkembang? Setelah UU ini disahkan, bagaimana UU ini digunakan ketika korban melapor? Apakah memang UU PKDRT digunakan, atau kepolisian dan pengadilan cenderung menggunakan aturan hukum lain?” tanya Mike.
Bukan rahasia umum, kata Mike, kepolisian bahkan tidak mengetahui keberadaan UU Pencegahan KDRT ini ketika menangani kasus KDRT. [fw/em]
Sumber:Voa