-->

Jelang Lengser, Jokowi Kembali Reshuffle Kabinet, Pengamat Politik dari BRIN Menyayangkan Hal itu

Editor: Redaksi
Sebarkan:

(Ki-ka) Mensos baru Gus Ipul dilantik bersama Kepala BNPT Irjen Eddy Hartono oleh Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (11/9). (Biro Setpres)
Pada sisa masa jabatannya, Presiden Joko Widodo kembali melakukan reshuffle kabinet. Jokowi mengangkat Saifullah Yusuf atau Gus Ipul sebagai Menteri Sosial menggantikan Tri Rismaharini yang mundur untuk mengikuti Pilkada 2024 nanti.

Pelantikan Gus Ipul sebagai Menteri Sosial itu berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 102 P Tahun 2024 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Menteri Sosial Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024.

Selain Mensos, Jokowi juga melantik Inspektur Jenderal Eddy Hartono sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Aida Suwandi Budiman sebagai Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Ditemui usai pelantikan, Gus Ipul tidak berbicara banyak mengenai fokus kinerjanya sebagai Mensos yang hanya akan menjabat hingga 20 Oktober atau hanya 39 hari. Berbicara kepada wartawan, ia meminta waktu selama 1-2 hari ke depan untuk merumuskan fokus program apa saja yang akan dikerjakannya selama sisa waktu yang sangat singkat ini.

“Belum sampai ke sana, saya akan koordinasi dengan Menko PMK Muhadjir setelah itu saya akan bikin pernyataan apa kira-kira yang akan kita lakukan ke depan dalam waktu yang tersisa ini. Makanya kasih waktu 1-2 hari, akan kami sampaikan,” ungkap Gus Ipul.

Ia juga menyatakan bahwa dirinya otomatis mundur dari jabatannya sebagai Wali Kota Pasuruan. Namun, jabatannya sebagai Sekjen PBNU masih tetap dipegangnya. Gus Ipul juga sempat mengatakan bahwa penunjukan dirinya sebagai Mensos ini terbilang mendadak karena baru diberitahu dalam kurun waktu dua hari ke belakang.

Ia menegaskan bahwa dirinya akan bekerja maksimal mengemban tugas yang diamanatkan oleh Presiden Jokowi meskipun terbilang sangat singkat.

“Ya pasti presiden punya maksud yang saya kira tidak ada lain di antaranya mencoba untuk menata masa transisi. Saya memerlukan waktu untuk itu, tapi ini kepercayaan, sebisa mungkin saya lakukan sesuai kemampuan yang saya miliki,” tegasnya.

Pengamat Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli menyayangkan sikap Jokowi yang kembali melakukan reshuffle kabinet menjelang purna tugas. Menurutnya, jabatan menteri yang kurang lebih hanya akan menjabat dua bulan ini tidak akan efektif dan efisien.

“Saya kira memang sisa waktu yang sebentar lagi kenapa diisi orang dari luar. Jadi kentara betul bahwa ini sebagai politik akomodasi, politik bagi-bagi kekuasaan, sebagai bentuk balas budi. Padahal sisa waktu satu bulan saya yakin tidak akan efektif diisi oleh Menteri yang baru itu, ungkapnya ketika berbincang dengan VOA.

Menurutnya, meskipun tidak ada menteri, jabatan menteri sosial sedianya bisa dijabat rangkap oleh Menko PMK Muhadjir Effendi yang memang sudah menjabat sebagai Pelaksana tugas menteri sosial semenjak Risma mengundurkan diri. Para birokrat seperti Dirjen, kepala bagian dan tenaga ahli misalnya diyakini bisa menjalankan program hingga akhir tahun. Dikatakan bahwa pelantikan mensos baru ini tidak efektif dan hanya merupakan pemborosan anggaran negara.

Reshuffle kabinet, kata Lili memang merupakan hak prerogatif dari seorang presiden. Namun, demi berjalannya pemerintahan dan birokrasi yang baik, seharusnya bongkar pasang menteri itu tidak terlalu sering dilakukan, kecuali memang mendesak, misalnya yang bersangkutan tersangkut kasus korupsi dan sebagainya.

“Saya kira janganlah karena itu sebagai hak prerogatif presiden, kemudian presiden dalam mengangkat menteri tidak memperhatikan efektivitas dan efisiensi. Karena dampaknya bukan hanya terkait dengan bahwa itu harus diisi agar mesin birokrasi jalan, tetapi dampaknya terhadap anggaran. Karena seorang pejabat menteri nantinya terkait dengan alokasi anggaran seperti dapat pensiun dan lain-lain,” jelasnya.

Lili berpendapat hak prerogatif presiden perlu ditinjau kembali, sehingga dengan begitu wewenang presiden untuk bongkar pasang jabatan menteri dapat lebih terarah dengan baik dengan dampak pada jalannya pemerintahan yang lebih stabil dan kondusif.

“Hak prerogatif juga harus memperhatikan efisiensi dan efektivitas kebutuhannya, kemendesakannya atau tidak. Saya berharap seperti di Amerika harus ada masukan juga dari DPR, setiap mengangkat menteri, memang itu hak prerogatif presiden tetapi harus mendapatkan pertimbangan dari DPR. Jadi jangan gonta-ganti. Saya kira itu juga akan mengganggu stabilitas birokrasi. Kan harus adaptasi lagi dengan kepemimpinan menteri yang baru,” tuturnya.

Lili berharap, pola seperti ini tidak terjadi pada pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Mengingat koalisi pemerintahan baru tersebut juga terbilang besar sehingga politik akomodasi sulit untuk dihindarkan.

“Saya berharap sih tidak. Kalau akan gonta-ganti, itu mesin birokrasi tidak akan berjalan. Oleh karena itu, ketika pembentukan awal kabinet harus betul-betul cermat, menteri-menteri yang akan duduk di sana. Pakta integritas betul-betul dijalankan. Jadi pakta integritas itu dilakukan dengan syarat orang yang direkrut itu memiliki integritas, tidak ada cacat. Sehingga memang menteri itu kemudian bisa langsung running atau berjalan. Tetapi kemudian pakta integritasnya bukan konteks dalam pemerintahan Pak Jokowi, ketika tidak sejalan dengan kekuasaan, diganti. Ketika keinginannya tidak berjalan, ya digeser,” pungkasnya. [gi/lt]

Sumber : VOA Indonesia 

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini