Jakarta (Suara
Borneo) — Sejak DPR membahas revisi RUU TNI dan Polri, penolakan terus
digaungkan sejumlah organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai substansi
usulan perubahan dalam kedua RUU itu dinilai memiliki sejumlah persoalan serius
yang dikhawatirkan akan memundurkan agenda reformasi TNI dan Polri. Walaupun
ada penolakan, DPR sempat menyatakan bahwa pembahasan kedua revisi itu tetap
akan berjalan.
Namun seperti dikutip dari halaman VOA, tiba-tiba Ketua Badan Legislasi (Baleg)
DPR Wihadi Wiyanto, Senin (26/8), di kompleks parlemen di Jakarta mengungkapkan
bahwa lembaganya memutuskan membatalkan pembahasan revisi UU TNI dan Polri,
tanpa mengungkapkan alasan.
"Nanti kita akan sampaikan ini (revisi UU TNI dan UU Polri) akan
dilanjutkan untuk DPR (periode) yang berikutnya, tetapi ini dilihat urgensinya
nanti. Jadi Baleg DPR memutuskan untuk tidak membahas dulu dan menunda atau
membatalkan keputusan untuk membahas UU TNI-Polri," katanya kepada wartawan.
Wihadi juga menyebut pemerintah belum mengirimkan daftar inventaris masalah
terkait dengan revisi UU TNI dan Polri tersebut.
Menanggapi
pembatalan tersebut, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
(PBHI) Julius Ibrani, salah satu organisasi yang menolak revisi tersebut,
menjelaskan bahwa sejak awal dari segi substansi revisi UU TNI dan UU Polri
banyak bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan lebih banyak melebar pada
persoalan-persoalan kebutuhan politik dan bisnis. Revisi itu, katanya, tidak
membahas persoalan-persoalan yang lebih mendesak, seperti jenjang karier,
promosi, dan mutasi. Saat ini, menurut Julius, ada pembengkakan di kelompok
perwira kelas menengah.
"Oleh karena itu, satu-satunya alasan yang bisa kita lihat dalam cepatnya
jalan (pembahasan revisi) UU TNI dan Polri itu adalah alasan politis, dimana
Indonesia menghadapi pilkada menjelang akhir tahun ini pasca pilpres dan pileg
kemarin. Ketika pilkada-nya buyar akibat putusan MK nomor 60, sudah bisa
diprediksi penguasaan terhadap TNI dan Polri yang ditujukan pada kepentingan
politik ini menjadi buyar," ujarnya.
Alhasil, lanjut Julius, revisi UU TNI dan UU Polri tidak lagi menjadi prioritas
untuk didorong. Dia menegaskan yang menjadi urgensi adalah merevisi
kewenangan-kewenangan yang melampaui dan tidak sesuai mandat reformasi dan
konstitusi, baik di UU TNI dan UU Polri. Dia mencontohkan dalam UU TNI yang
harus direvisi adalah TNI harus kembali ke barak. “TNI tidak boleh berada di
ruang sipil. TNI hanya boleh bergerak pada operasi militer perang dan operasi
militer non-perang,“ katanya.
Salah satu
yang akan direvisi dalam UU TNI yang dianggap akan memperluas peran TNI di
ranah sipil adalah perubahan bunyi pasal 3 ayat 1 dan 2. Ayat 1, sebagai
contoh, yang saat ini berbunyi, "Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan
militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden" akan diubah menjadi "TNI
merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di
bawah Presiden".
Dua pasal lainnya yang diubah dalam revisi tersebut, yakni Pasal 47 dan Pasal
53.. Penambahan kalimat pada pasal 47 ayat 2 "kementerian dan lembaga
membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan
presiden" bisa membuka peluang prajurit aktif mengisi jabatan di semua
kementerian atau lembaga.
Sementara itu, yang disorot dalam revisi UU Polri adalah soal kewenangan polisi
dalam mengawasi ruang siber dan memblokir Internet. Kewenenagn itu, kata
Julius, berpotensi mematikan ekspresi masyarakat di ruang siber, dan bisa
memicu penyalahgunaan wewenang. [fw/ab]