Itikad presiden memperbaiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat
dilihat dari panitia seleksi (pansel) calon pimpinan dan Dewan Pengawas
KPK yang tengah disusun. Indonesia Corruption Watch menilai jika pansel
diisi sosok berintegritas, pimpinan KPK yang terpilih kelak juga lebih
baik.
Dominasi pemerintah dalam panitia seleksi tersebut baru terjadi kali
ini. Panitia-panitia seleksi calon pimpinan dan Dewan Pengawas KPK
sebelumnya didominasi unsur masyarakat.
Melihat penanganan kasus korupsi lima tahun terakhir yang cenderung
memburuk, peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya,
meminta Presiden Joko Widodo memperbaiki hal itu dengan membentuk
panitia seleksi yang punya integritas.
"Setiap anggota pansel (panitia seleksi) harus memiliki kompetensi
yang memiliki pemahaman yang utuh terhadap situasi pemberantasan
korupsi, terutama kelembagaan KPK, setidaknya lima tahun terakhir. Poin
ini begitu penting agar pansel dapat menilai mana kandidat calon
pimpinan KPK yang mampu menjadi obat bagi penyakit yang diderita oleh
KPK selama ini," katanya.
Soal integritas mereka yang menjadi anggota panitia seleksi ini,
tambahnya, sangat penting supaya panitia seleksi tidak menjadi alat
untuk meloloskan calon pimpinan KPK tertentu karena unsur kedekatan.
Menurutnya, komposisi lima anggota panitia seleksi dari pemerintah
dan empat lainnya dari unsur masyarakat tidak ideal "karena potensi
konflik kepentingan dan intervensi atas keputusan dalam proses seleksi
justru akan besar jika didominasi dari unsur pemerintah," ujar Diky.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang stagnan selama sembilan
tahun belakangan ini menjadi rujukan ICW dan kelompok-kelompok pemerhati
pemberantasan korupsi. Transparency International Indonesia (TII) tahun
lalu merilis survei menunjukkan skor IPK Indonesia adalah 34, sehingga
peringkat Indonesia anjlok dari 110 pada 2022 menjadi 115. Posisi ini
dikategorikan sebagai negara dengan tingkat korupsi paling
mengkhawatirkan.
Skor IPK Indonesia 34 poin tersebut sama dengan poin Indonesia ketika
Joko Widodo dilantik sebagai presiden pada 2014. Hal ini mengisyaratkan
semua komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi sekadar wacana, dan
membuktikan lemahnya komitmen presiden untuk memperkuat KPK.
Diky juga merujuk pada dua pimpinan KPK hasil seleksi 2019 yang
bermasalah, dan bahkan salah seorang diantaranya dijatuhi sanksi berat
untuk mundur dari jabatannya. Yaitu Lili Pintauli Siregar yang mundur
dari jabatannya sebagai Wakil Ketua KPK pada tahun 2022 setelah
diperiksa Dewan Pengawas KPK dalam kasus penerimaan gratifikasi.
Pada akhir 2023, Firli Bahuri yang ketika itu menjabat sebagai ketua
KPK, dijatuhi sanksi untuk mengundurkan diri karena terbukti bertemu
dengan pihak yang sedang berperkara yakni mantan Menteri Pertanian
Syahrul Yasin Limpo, yang diduga melakukan korupsi di kementeriannya.
Belum lama ini, giliran Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dilaporkan ke
Dewas KPK atas dugaan komunikasi dengan pejabat Kementerian Pertanian
untuk kepentingan mutasi salah satu pegawai di kementerian tersebut.
Laporan ini tengah ditangani Dewas KPK.
Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan proses pemilihan pimpinan KPK yang
ala kadarnya dan revisi Undang-undang KPK yang melemahkan badan
antirasuah itu, semakin membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi
carut marut. Jika ingin membangkitkan kembali pemberantasan korupsi di
Indonesia, maka pembentukan panitia seleksi pimpinan KPK adalah salah
satu aspek penting, ujarnya.
"Siapapun yang pernah, misalnya partai-partai yang pernah memberikan
sumbangan kecil atau besar pada pelemahan dalam perubahan Undang-undang
KPK, saya kira saatnya kita tagih perannya untuk membalik kembali isu
itu," tuturnya.
Ketua KPK (2015-2019) Agus Rahardjo meminta Presiden Joko Widodo dan
presiden terpilih Prabowo Subianto untuk bekerjasama dengan KPK untuk
melanjutkan upaya memberantas korupsi. Dia mengingatkan terlalu
banyaknya orang yang bekerja di KPK, yang berafiliasi dengan pihak luar,
sehingga ada penyidik KPK yang justru lebih tunduk pada kepolisian,
kejaksaan, atau bahkan Badan Intelijen Negara (BIN).
"Oleh karena itu saya berharap di dalam pimpinan KPK tidak ada
perwakilan, tidak ada perwakilan dari jaksa, tidak ada perwakilan dari
polisi. Betul-betul independen dan kompeten," katanya.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi mengaakan dalam
beberapa tahun belakang ini, ada indikasi ambruknya kepercayaan publik
terhadap KPK.
Hasil survei melalui telepon yang dilansir lembaganya bulan lalu memperlihatkan kepercayaan publik pada KPK hanya sedikit di atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik. Padahal sebelumnya KPK pernah unggul. Ini berarti publik kini menganggap pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan buruk. [fw/em]
Sumber:VOA