JAKARTA, Suara Borneo —
Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengusulkan penggunaan hak angket
terkait dugaan kecurangan Pemilu 2024. Namun usulan yang diutarakan
melalui interupsi di sidang paripurna pertama DPR sejak pemungutan suara
belum dibahas lebih lanjut.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aus Hidayat Nur, Fraksi
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah dan anggota Fraksi
PDI-Perjuangan Aria Bima menggulirkan usul hak angket melalui interupsi
yang disampaikan kepada pimpinan sidang yaitu Wakil Ketua DPR yang juga
politisi Partai Gerinda, Sufmi Dasco Ahmad.
Aus Hidayat Nur meminta DPR menggunakan hak angket untuk mengklarifikasi
kecurigaan dan praduga masyarakat atas berbagai masalah dalam
penyelenggaraan Pemilu 2024. Desakan serupa disampaikan Luluk Nur
Hamidah yang menegaskan bahwa sebagai wujud kedaulatan rakyat, maka
tidak boleh ada satu kekuatan pun di Indonesia yang boleh mengganggu
jalannya pemilu. Luluk mengatakan pemilu tidak hanya dipandang dari
konteks hasil, tetapi juga prosesnya, yang sedianya berlangsung jujur
dan adil.
"Jika prosesnya penuh dengan intimidasi, apalagi dugaan kecurangan,
pelanggaran etika atau politisasi bansos (bantuan sosial), intervensi
kekuasaan, maka tidak bisa dianggap serta merta pemilu telah selesai
saat pemilu telah berakhir jadwalnya. Sepanjang pemilu yang saya ikuti
sejak 1999, saya belum pernah melihat ada sebuah proses pemilu sebrutal
dan semenyakitkan ini, di mana etika dan moral berada di titik minus
kalau tidak bisa dikatakan di titik nol," tegasnya.
Lebih jauh Luluk menyampaikan otokritik karena sikap DPR yang bungkam
dan membiarkan apa yang terjadi saat begitu banyak akademisi, budayawan,
guru besar, mahasiswa, dan rakyat biasa yang melaporkan berbagai
kecurangan yang terjadi. Luluk mengatakan partainya, PKB, telah menerima
aspirasi dari berbagai pihak dan menilai hak angket adalah satu-satunya
cara untuk memastikan integritas pemilu dan hasilnya.
Dalam sidang paripurna pertama yang dilangsungkan DPR pasca pemungutan
suara 14 Februari lalu, Aria Bima, anggota DPR dari Fraksi
PDI-Perjuangan meminta pimpinan DPR untuk memaksimalkan pengawasan
melalui hak interpelasi, hak angket, atau mekanisme lain untuk
memastikan kualitas pemilihan umum selanjutnya semakin baik.
Usul ketiga anggota itu langsung dikecam Herman Khaeron dari Fraksi
Partai Demokrat yang membantah telah terjadinya kecurangan dalam
pelaksanaan pemilu lalu. Ia juga tidak setuju dengan pendapat anggota
Fraksi PKB Luluk Nur Hamidah yang menyebut Pemilihan Umum 2024 adalah
pesta demokrasi paling brutal yang pernah digelar di Indonesia.
"Saya pikir untuk persoalan ini, ajukan saja hak angket itu apa isinya
dan tentu itu yang akan kita bahas bersama. Tidak perlu membangun
wacana-wacana kecurangan dan sebagainya. Ini adalah pemilu yang juga
tentu menjadi tugas kita bersama untuk mengawal, untuk mengawasi," tutur
Herman.
Penolakan terhadap usul hak angket juga disampaikan oleh Rambe Kamarul
Zaman, politisi senior dari Fraksi Partai Golongan Karya, yang menilai
banyak aspirasi lain yang sangat mendesak dan harus segera diselesaikan,
seperti pengangguran dan penciptaan lapangan kerja, dibanding memulai
proses yang tidak perlu seperti hak angket.
Rambe mengingatkan kepada pihak-pihak yang tidak siap kalah untuk tidak
memberikan respon yang terburuk, dengan menyampaikan tuduhan kecurangan
tanpa menggunakan instrumen hukum lain sebelumnya.
Dosen tidak tetap pada bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia sekaligus peneliti bidang kepemiluan Titi
Anggraini menjelaskan proses usulan hak angket di DPR masih sangat
dinamis. Penggunaan hak angket soal dugaan kecurangan dalam pemilu 2024
menurutnya perlu, guna memastikan agar proses pemilu sesuai dengan
kehendak konstitusi.
"Di (Pemilu) 2024, hampir semua pihak dari sisi teknikalitas ada karut
marut pemilu yang luar biasa. Dari sisi penegakan hukum, ada
ketidakpuasan terhadap keadilan pemilu. Ini adalah jalur konstitusional
yang diberikan kepada DPR untuk menggunakan haknya untuk melakukan
penyelidikan atas pelaksanaan undang-undang," ujar Titi.
Sedangkan proses di Mahkamah Konstitusi, lanjutnya, adalah penyelesaian
perselisihan hasil pemilu terhadap penetapan perolehan suara oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang mempengaruhi apakah masuk ke putaran kedua
atau perolehan kursi.
Titi meyakini ada kepentingan yang lebih besar dalam hak angket karena
ada hal-hal yang tidak bisa diungkap di Mahkamah Konstitusi, seperti
soal apakah penyelenggara pemilu memang telah menjalankan fungsinya
dengan baik. Ia mencontohkan beberapa keputusan pengadilan yang tidak
dijalankan KPU secara sengaja, seperti soal 30 persen keterwakilan
perempuan; atau mantan narapidana tidak boleh mencalonkan diri; dan
aplikasi Sirekap yang diragukan akurasinya.
Wacana hak angket ini pertama kali diusulkan oleh calon presiden nomor
urut 3, Ganjar Pranowo. Dia mendorong partai politik pengusungnya di
parlemen yaitu PDI-Perjuangan dan PPP menggulirkan hak angket untuk
mempertanyakan dugaan kecurangan pemilihan presiden 2024. Usulan ini
disambut oleh partai pendukung Anies-Muhaimin.
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegsasra yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014, usulan akan menjadi hak
angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna yang
dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota DPR dan keputusan diambil
dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir.
Di parlemen, koalisi pendukung pasangan nomor urut 1 Anies
Baswedan-Muhaimin Iskandar. terdiri dari Nasdem (59 kursi), PKB (50
kursi) dan PKS (50 kursi). Dari 575 kursi di parlemen, PDI-Perjuangan
menguasai 128 kursi.
Secara total jumlah kursi PDI-Perjuangan dan Koalisi Perubahan adalah
295 kursi atau 51,30 persen. Jumlah ini unggul dibanding koalisi
pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yaitu Gerindra,
Golkar, Demokrat dan PAN yang berjumlah 261 kursi parlemen.
Jika PPP yang merupakan pendukung pasangan Ganjar-Mahfud ikut bergabung
maka jumlahnya akan lebih besar lagi. PPP saat ini menguasai 19 kursi
DPR. Namun hingga kini, PPP menyatakan belum tertarik menggunakan hak
angket untuk mengusut dugaan adanya kecurangan dalam Pemilu 2024. [fw/em]
Sumber:VOA