Setiap kebijakan yang diambil pemerintah terkait penanganan COVID-19 harus memperhatikan kondisi psikologi masyarakat. Tanpa itu, akan muncul keyakinan bahwa yang wajib menyelesaikan persoalan ini hanya pemerintah, bukan masyarakat secara bersama-sama.
Secara umum, masyarakat dinilai telah mengalami stres karena pandemi yang telah berjalan setahun lebih. Dampaknya sangat terasa, baik sosial, budaya maupun ekonomi. Ibarat berbicara kepada pihak yang mengalami tekanan batin, pemerintah diminta berhati-hati dalam memilih bahasa dan pilihan kata atau diksi. Masukan ini diberikan Guru Besar Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Koentjoro.
“Kita harus berhati-hati dalam memilih diksi. Masyarakat kita yang sudah lebih satu tahun ada COVID, ini mengalami stres massal. Munculnya psikologi komunitas itu adalah karena adanya stres massal yang berkepanjangan. Karena itu, akan lebih baik kalau stres massal itu bisa kita tekan dengan diksi-diksi yang lebih baik,” kata Koentjoro dalam diskusi yang diselenggarakan Dewan Guru Besar UGM, Senin (26/7) petang.
Koentjoro memilih contoh istilah yang paling populer saat ini, yaitu PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Jika melihat tujuannya, ini adalah bagian dari strategi intervensi untuk menekan mobilitas warga, dan pada gilirannya untuk menekan perkembangan kasus COVID-19. Namun karena istilahnya, upaya pembatasan kegiatan masyarakat lebih mengemuka dan mengalihkan tujuan utamanya, yaitu menekan kasus dan menyehatkan masyarakat.
“Yang terjadi adalah, sekarang adanya penyekatan-penyekatan. Tetapi kalau kita lihat, meski namanya penyekatan, jalanan tetap penuh, jalan malah macet, kemudian malah membuat persoalan dan yang disalahkan polisi,” tambahnya.
Karena itulah, Koentjoro mengajak pemerintah kembali berpaling pada tujuan diterapkannya program itu, bukan penyekatan yang penting, tetapi intervensi untuk menekan kasus. Nama programnya dapat diubah menjadi Program Penyelamatan Kesehatan Masyarakat. Sama-sama disingkat sebagai PPKM, tetapi pemilihan istilah ini memberi kesan lebih kuat bahwa pemerintah melakukannya demi penyelamatan kesehatan masyarakat.
Pemerintah harus meyakinkan masyarakat bahwa yang dilarang adalah aktivitas penyebab kerumunan dan bukannya melarang masyarakat mencari nafkah.
Pendekatan budaya, keikutsertaan tokoh masyarakat dan tokoh agama, kata Koentjoro, juga akan sangat membantu. Prinsipnya, masyarakat harus disadarkan bahwa mengatasi pandemi adalah tanggung jawab bersama bukan hanya pemerintah. Di tengah masyarakat yang sadar, PPKM barangkali tidak akan lagi diperlukan.
Pegiat komunitas Sambatan Jogja (SONJO) yang sekaligus dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Dr Rimawan Pradiptyo juga mengkritisi sejumlah pedoman kebijakan pemerintah selama pandemi. Salah satu yang cukup mengganggu adalah Key Performance Indicator (KPI) yang masih berbasis penyerapan anggaran. Akibatnya kebijakan sering tidak nyambung, misalnya pemerintah membatasi mobilitas tapi pada saat yang sama menyarankan pergerakan demi belanja anggaran.
Hambatan kedua adalah sekat otonomi daerah, yang memaksa kerja sama tidak sinkron antarlembaga dengan pemerintah provinsi dan kabupatan atau kota di bawahnya. Selain itu, birokrasi juga dinilai terlalu banyak melakukan formalitas.
“Kondisi di tengah varian delta seperti ini, meeting masih luring. Bahkan penyaluran bantuan nunggu upacara dulu, yang upacaranya luring juga. Padahal yang ada di lapangan, sudah banyak yang meninggal,” ujar Rimawan.
Ada pula problem terkait keyakinan terjadap definisi korupsi yang salah kaprah dalam penanganan pandemi. Dalam sebuah kasus, Rimawan menemukan pelaku isolasi mandiri di shelter milik sebuah desa, yang tidak menerima bantuan makan, karena pasien itu berasal dari desa lain. Alasannya, bantuan makan itu berasal dari dana desa,yang secara aturan hanya bisa diberikan kepada warga desa bersangkutan.
Dalam kasus semacam ini, kata Rimawan, pertanyaan besar tentang kebangsaan menjadi muncul, karena faktor Kartu Tanda Penduduk (KTP) menghambat upaya kemanusiaan.
Masalah nyata lain adalah pemimpin daerah yang mabuk politik dan ekonomi. Ada upaya yang mereka lakukan untuk mengurangi jumlah tes, agar jumlah kasus yang ditemukan juga semakin sedikit. Kepala daerah semacam ini ingin menunjukkan bahwa daerah yang dipimpinnya adalah zona hijau.
“Istilahnya, menghancurkan diri sendiri. Lebih buruk menurut saya, itu membunuh rakyatnya sendiri,” tambahnya.
Masalah mendasar lain adalah hambatan mental. Ketika Sonjo bekerja sama membangun shelter, banyak pertanyaan mengenai dasar hukum. Rimawan mengaku bingung dengan mental semacam itu, karena persoalan ijin selalu dikedepankan dari pada upaya menyelamatkan manusia.
Dekan Fakultas Hukum UGM, Prof Dr Sigit Riyanto, mengingatkan pemerintah harus memastikan kerangka kerja hukum harus bersesuaian dengan kebijakan hukum.
"Kita menghadapi ketidakpatuhan, ketidakpercayaan dan lain-lain. Seringkali di dalam situasi seperti ini, ada kebijakan-kebijakan yang kalau dievaluasi di lapangan, tidak koheren antara satu dengan yang lain,” katanya.
Salah satu masalah besar birokrasi, seperti yang diungkap Rimawan Pradiptyo di atas, adalah karena institusi masih mengutamakan serapan anggaran di tengah pandemi. Lebih mengherankan lagi serapan anggaran itu terutama untuk kegiatan-kegiatan rutin yang sudah ditetapkan sebelum pandemi. Padahal, tambah Sigit, situasi sudah jauh berbeda.
Dalam situasi saat ini, pemerintah harus mampu menyelaraskan dirinya, dengan semangat masyarakat turut mengatasi pandemi.
“Masyarakat itu sudah bergotong-royong. Mereka melibatkan diri dalam penyediaan shelter, mendukung keluarga atau warga yang sedang isoman dengan logistik dan lainnya. Pada saat yang sama, komitmen negara, komitmen pemerintah, untuk menyediakan anggaran dan hal-hal yang diperlukan secara tepat waktu, itu menjadi sangat penting,” tambah Sigit.
Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, Sigit mengingatkan, negara harus memastikan semua rakyat sehat, mendapatkan layanan secara adil, dan terselamatkan. Misalnya, jika terkait vaksinasi, pemerintah harus memastikan tersedia untuk seluruh warga negara. Akses di setiap pelosok Tanah Air harus terjamin, tidak boleh ada diskriminasi. [ns/ab]
Sumber : VOA