Polres Kapuas Hulu |
KAPUAS HULU, suaraborneo.id - Polres Kapuas Hulu, Polda Kalimantan Barat, menggelar rapat koordinasi lintas sektoral penanganan Penambangan Tanpa Izin (PETI) di wilayah hukum Polres Kapuas Hulu, Selasa (16/2/2021).
Dalam rapat ini Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kapuas Hulu, Ambrosius Sadau menyampaikan, aktifitas PETI adalah kegiatan ilegal yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang ada.
"Agar pertambangan emas itu legal harusnya mereka mengurus perizinan sesuai ketentuan yang berlaku," katanya.
Sesuai ketentuan, perizinan pertambangan emas tersebut kewenangannya ada di pemerintah pusat. Ditegaskannya, aktifitas PETI merupakan tindakan kriminal yang berdampak terhadap kerusakan ekosisitem sungai yang ada.
"Kegiatan tanpa izin merupakan tindakan kriminal karena pemanfaatannya tidak sesuai aturan," jelas Ambrosius.
Dikatakannya, jangan jadi alasan pertimbangan perut sehingga aktifitas PETI dibiarkan, selama ini masyarakat Kapuas Hulu bisa hidup tanpa bergantung dengan PETI. "Jika melihat ini tindakan melawan hukum yang sebebarnya bisa ditindak," tegasnya.
Menurutnya, bila melihat kondisi alam yang ada saat ini hati serasa hancur. Penambangan emas tidak hanya dilakukan di sungai bahkan juga dilakukan di darat.
"Akibatnya ekosistem menjadi rusak, air tidak bisa dikonsumsi dan ikan sulit ditangkap," kesalnya. Hal ini tentunya kata Dia sangat mengganggu hajat hidup orang banyak. Padahal Kapuas Hulu terkenal dengan status konservasi.
Kepala Bappeda Kapuas Hulu, AM Nasir mengatakan, upaya yang dilakukan Pemkab Kapuas Hulu dalam upaya untuk mencegah pertambangan semakin merebak dengan membuat kajian potensi wilayah pertambangan yang bisa dibuatkan izin WPR (wilayah pertambangan rakyat).
"Dengan begitu mereka bisa mengurus izin WPR, sehingga mereka bisa mencari mata pencharian dari pertambangan emas secara legal," tuturnya.
Hal itu dilakukan menindaklanjuti audiensi masyarakat sebelumnya, Bupati Kapuas Hulu meminta Bappeda untuk menginisiasi dalam upaya mencari solusi lokasi PETI agar masyarakat bisa bekerja. "Kemudian kami menyurati Gubernur agar izin WPR itu bisa dikeluarkan," jelasnya.
Sehingga hasilnya sampai saat ini sudah ada izin WPR yang dikeluarkan yakni di empat desa di kecamatan Boyan Tanjung dengan luas total 468 hektare. "Untuk izin WPR itu sesuai aturan terbaru mengurusnya di pemerintah pusat," tuturnya.
Semula kata Dia, izin WPR yang diusulkan seluas seribu lebih hektare, terdiri dari Kecanatan Suhaid, Selimbau, Bunut Hilir, Boyan Tanjung, Bunut Hulu dan Mentebah karena disana punya potensi emas.
"Izin WPR bisa dikeluarkan bila sudah ada dua kajian yakni ekonomi dan lingkungan saat ini kajian itu sudah dibuat," ujar AM. Nasir
Sementara itu, Kasat Reskrim AKP Rando mengatakan, penindakkan pelarangan PETI harus dipikirkan secara bersama, karena ini merupakan tanggungjawab bersama dalam menjaga lingkungan sekitar. "PETI dilarang sesuai aturan, kita jangan hanya menindak tapi juga menghadirkan solusi," katanya.
Jangan sampai kata Rando, justru dengan penindakkan menambah persoalan hukum baru. "Dampak Peti rusaknya hutan, mengingat aktifitas bukan hanya dilakukan di darat namun juga di sungai sungai, mereka bisa dikenakan pasal berlapis," tegasnya.
AKP Rando juga mengajak seluruh instansi untuk melakukan pengawasan dan pembinaan dalam menjaga kelestarian lingkungan yang ada. (TS).